I'm just an ordinary girl who always keep trying to be a better person and to appreciate the little things in life
Senin, Mei 31, 2010
Bertualang ke Negeri Kincir Angin.....
Negeri Kincir Angin, Belanda menjanjikan cukup banyak hal bagi dunia akademis di tanah air. Belanda memang merupakan salah satu pusat studi yang menarik tak hanya karena lembaga studinya (universitasnya), namun juga kesejarahan dan ikatan emosionalnya. Sebagai negara penjajah, Belanda memiliki banyak sekali ingatan sejarah tentang Indonesia. Bahkan beberapa bukti sejarah mulai dari manuskrip, patung, artefak hingga buku-buku hanya terdapat di Belanda. Untuk mempelajari suatu situs kebudayaan atau kesejarahan, tak jarang orang Indonesia yang belajar di negeri ini, bahkan di seantero dunia, harus pergi ke Belanda.
Aspek itulah yang mendorong lima mahasiswa untuk melanjutkan studi S2 mereka ke Negeri Kincir Angin itu. Mereka adalah Lintang, Banjar, Wicak, Daus dan Geri. Kelimanya harus benar-benar berkutat dengan ketatnya kehidupan dan penyesuaian diri yang tak sedikit dengan iklim Belanda. Tak hanya cuaca tentunya, namun juga segala keadaan yang sama sekali berbeda dengan Indonesia, mulai dari makanan, kendaraan, tempat tinggal, hingga kebiasaan masyarakat.
Novel Negeri Van Oranje ini dimulai dari panggilan SMS mendadak kepada Banjar di Rotterdam, Daus di Utrecht, Wicak di Wageningen, dan Lintang di Leiden. Panggilan yang dianggap sangat penting ini memulai komunikasi mereka dengan Geri di Denhaag yang mengurai kisah selanjutnya dari rangkaian perjuangan kelima anak muda ini di negeri Belanda. Adalah rokok kretek dan badai ringan yang kemudian mempertemukan mereka. Sebagai negeri dingin, rokok, selain juga berbagai aneka minuman keras dan rempah-rempah sangat diperlukan. Dan rokok merupakan yang terbiasa dipakai, kendati mencarinya di Belanda sangat susah. Itulah yang kemudian mempertemukan mereka.
Kendati datang kuliah mendapatkan beasiswa, tetap saja yang namanya bantuan itu terbatas jumlahnya. Itulah pula yang dialami kelima sahabat ini ketika menimba ilmu di Belanda. Menggenjot sepeda berkilo-kilo adalah kebiasaan sehari-hari yang sama sekali baru dibandingkan dengan di negeri sendiri yang terbiasa dengan kendaraan bermotor. Tak hanya itu, bekerja paruh waktu adalah hal yang juga terbiasa mereka lakukan, ketika kekurangan duit.
Belajar di negeri orang memang tidak mudah. Kadang nasib malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih. Seperti halnya mahasiswa Riau yang kuliah di Mesir ketika mendapat menyiksaan hebat. Dan ketika itu terjadi, cita-cita indah dan keinginan untuk mendapatkan hal-hal yang sepenuhnya menyenangkan saat belajar di negeri orang tidaklah terkabul. Namun bagaimana pun perjuangan sering menemukan tantangan.
Novel ini ditulis dengan sangat banyak sekali istilah-istilah Belanda di awal-awal novelnya. Kendati pada beberapa kata terdapat keterangan, namun banyak juga yang tidak. Begitu juga untuk yang berbahasa Inggris, nyaris tak pernah diterjemahkan. Kentara sekali, para pengarangnya ingin memperlihatkan bahwa novel ini Belanda sekali, juga Barat sekali. Namun itu hanya di awal saja, sehingga ada kesan hanya untuk memberikan efek tertentu. Pasalnya, hal itu tidak konsisten terlihat ketika novel memasuki babak-babak pertengahan hingga akhir, sehingga kesan menampilkan corak Belanda di awal novel begitu terasa.
Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi para pengarangnya yang unik ketika belajar di Belanda. Boleh jadi, tokoh-tokohnya adalah diri mereka sendiri, dengan beberapa improvisasi. Gaya penulisan yang lincah, menyentuh, gamblang, cepat dan sedikit kocak menjadikan novel ini enak dibaca. Apalagi novel ini seperti menunjukkan peta Eropa mulai dari Brussel hingga Barcelona yang memudahkan pembaca melemparkan imajinasinya ke sana. Tentu, sangat inspiratif, menghibur dan mengejutkan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar